
BENTARA BUDAYA JAKARTA dengan hormat mengundang Bapak/Ibu/Saudara/Saudari,
untuk menghadiri acara pembukaan pameran tunggal
NIA GAUTAMA :
Pembukaan: 5 Maret 2008, pukul 19.30 wib
Pameran berlangsung : 6-16 Maret 2008, 10.00-18.00 wib
Tempat : Bentara Budaya Jakarta, Jl. Palmerah Selatan 17 Jakarta
Pameran akan dibuka oleh : Marco Kusumawijaya(Ketua Pengurus Harian-Dewan
Kesenian Jakarta)
Kurator : Rifky Effendy
WONDROUSHELTER merupakan pameran instalasi yang terinspirasi dari rumah
rayap. Menggunakan bahan dasar tanah liat mentah yang dibiarkan tanpa
melalui proses pembakaran.
KURATORIAL
WONDROUSHELTER: Pertimbangan Suara Alam Rifky Effendy
Dalam peradaban, manusia selalu mengikuti bahasa alam. Kita bisa telusuri
dalam peradaban yang mutakhir sekarang pun, ada banyak ciptaan manusia
meniru apa yang ada di alam. Contohnya pesawat yang mempunyai mekanisme
aerodinamisnya mengikuti model burung. Bahkan beribu tahun sebelumnya,
dalam mitos jaman Yunani, keinginan manusia untuk bisa terbang seperti
burung, digambarkan melalui tokoh Ikarus yang membuat sayap seperti
seekor burung di punggungnya dan meloncat dari sebuah menara, dan
akhirnya gagal. Baru ketika era pengetahuan modern , Wright bersaudara
tahun 1902 berhasil membuat pesawat pertamanya , impian manusia untuk
menggapai dan menembus langit tercapai.
Begitupun ambisi manusia membangun menara yang mencapai langit, menembus
awan. Dongeng menara Babel di jaman Babylon misalnya, merupakan suatu
mitos yang sering disebut di kitab-kitab suci dan ahli sejarah sebagai
suatu contoh keangkuhan sang Raja Nimrod. Bersama pengikutnya mereka
membangun menara tersebut untuk menjadikan jalan ke Surga, dikota
kerajaan itu ; sebagai pusat peradaban, dimana semua orang dari belahan
timur datang ke tanah Shinar. Mereka mempunyai dan menggunakan satu
bahasa. Hingga akhirnya mereka dikutuk oleh sang maha kuasa. Dengan
membuat mereka saling tak mengerti dengan apa yang mereka ucapkan. Menara
Babel menjadi suatu metafor tentang tragedi manusia dalam suatu
peradaban, sekaligus sebagai suatu peristiwa arsitektural yang selalu
diingatkan, dibalut dengan mitos dan ayat-ayat suci:
1 And the whole earth was of one language, and of one speech. 2 And it
came to pass, as they journeyed from the east, that they found a plain in
the land of Shinar; and they dwelt there. 3 And they said one to another,
Come, let us make brick, and burn them thoroughly. And they had brick for
stone, and slime had they for mortar. 4 And they said, Come, let us build
us a city and a tower, whose top may reach unto heaven; and let us make
us a name, lest we be scattered abroad upon the face of the whole earth.
5 And the Lord came down to see the city and the tower, which the
children built. 6 And the Lord said, “If as one people speaking the same
language they have begun to do this, then nothing they plan to do will be
impossible for them.” 7 Come, let us go down, and there confound their
language, that they may not understand one another’s speech. 8 So the
Lord scattered them abroad from thence upon the face of all the earth:
and they left off to build the city.
(Genesis 11:1-8)
Tapi dijaman sekarang ini tiap kota didunia berambisi mendirikan
gedung-gedung pencakar langit, bahkan sebuah pemandangan yang lumrah.
Mulai New York, Tokyo, Shianghai, Jakarta hingga Kuala Lumpur. Menara
atau gedung-gedung pencakar langit sebagai perkantoran dan perumahan saat
ini bisa jadi di mata Nia Gautama, hanya menjadi upaya manusia meniru apa
yang telah dibuat sang alam. Bahkan dibuat oleh binatang mikro yang
dianggap remeh. Rayap atau Semut di beberapa daerah dipelosok dunia
mempunyai kerja ajaib. Terutama di daerah padang rumput yang kering
(savannah) dan banyak pepohonan yang tumbang. Mereka mendirikan rumahnya
; berkoloni, bergotong – royong, sedikit demi sedikit selama
berbulan-bulan bahkan menahun, yang dipimpin oleh se-ekor ratu. Hingga
hasilnya begitu mencengangkan. Rumah – rumah rayap atau disebut Mounds
terjadi ketika sangkar tumbuh melewati batas permukaan yang tersembunyi.
Rumah itu bisa menjulang hingga berukuran ekstrim ; sekitar 9 meter.
Biasanya
disuatu area luas mereka berkumpul Dengan bentuk amorfis dan skulptural.
Maka tak aneh ketika fenomena arsitektural alam itu menjadi acuan atau
inspirasi manusia untuk membangun tempat tinggalnya yang lebih beradab.
Cara kerja rayap atau binatang lain yang diaplikasikan ke dalam kehidupan
manusia biasanya disebut para ahli biologi dengan Biomimicri. Seiring
dengan seruan para ahli internasional bahwa bumi kita semakin rusak, dan
kita haruslah kembali mendekatkan pada alam. Himbauan ini pun disambut
banyak kalangan, baik untuk tujuan politis maupun industrial.
Dalam tradisi seni, terutama di barat, meniru alam atau mimesis, sudah
berlangsung lama. Obsesi manusia untuk mencapai kemiripan sempurna dengan
realita alam juga mempengaruhi perkembangan teknologi dan teknik melukis.
Mulai dari para pelukis ternama seperti Leonardo Da Vinci , Jan Vermeer,
Rembrant ,hingga Basuki Abdullah. Penemuan fotografi pun menjadi
pencapaian paling paripurna dalam sejarah seni rupa dunia. Tapi kemudian
, kebutuhan seni bukan lagi untuk memenuhi obsesi tersebut, seni kemudian
menjadi suatu bahasa untuk menyampaikan suatu gagasan seseorang dalam
memahami dunia. Menjadi simbolik, metafisik dan spiritual.
Karya-karya tiga dimensional keramikus Nia Gautama kali ini agak berbeda
dan tentunya mengejutkan. Dengan menggunakan bahan mentah tanah liat , ia
membangun suatu susunan instalasi yang menggunakan idiom rumah rayap;
bentuk silinder – lonjong mengerucut, setinggi 150 cm hingga sekitar 2
meteran. Semuanya berjumlah 28 buah silinder kerucut. Ditiap bendanya
itu,ia membuat beragam olahan dekorasi seperti wujud rumah atau gedung
yang organis, seperti juga rumah rayap. Ia melubangi, menoreh badan tanah
liat selagi belum mengeras. Memotong – motongnya dan membaginya dalam
beberapa bagian untuk mempermudah kerja dan cara pengangkutan. Tanpa
membakarnya, membiarkan tubuhnya dari tanah lempung merah yang dicampur
bermacam material, mengeras namun rapuh mengikuti watak alam.
Instalasinya menjadi wujud arsitektural sebuah kumpulan gedung tinggi
layaknya dalam keseharian sebuah kota. Imajinasinya yang cenderung
bergaya naif tentang sebuah bangunan merupakan metafor tentang tempat
tinggal kumpulan manusia dan lingkungannya. Jakarta, dimana ia tinggal
dan bekerja menjadi kosmopolit yang besar yang padat. Semua orang
berdatangan dari segala penjuru nusantara untuk mencari kehidupan baru.
Membangun gedung-gedung tinggi untuk perkantoran, maupun untuk mereka
tinggal. Namun perkembangan kota ini kemudian dirasakan semakin rentan.
Banjir yang tiap tahun terus dihadapi, gempa yang terus membayangi. Belum
lagi perilaku masyarakat kota yang membuat banyak kerusakan alam atau
sosial.
Kekaryaan Nia Gautama memperlihatkan suatu perkembangan terakhir praktik
seni rupa kontemporer. Dimana sejak awal 90-an, banyak perupa muda mulai
menciptakan karya – karya non lukis dan patung. Juga dengan pelebaran
ruangnya, karya-karya yang tak bisa diterima oleh ruang galeri komersial
mulai mendapat tempat di ruang –ruang alternatif. Begitupun dengan
penjelajahan material. Banyak perupa mencoba materi lain seperti keramik,
multimedia maupun medium yang tak lazim. Hal ini kemudian mendorong
banyak seniman dengan latar belakang pendidikan seni rupa keramik untuk
membuat karya-karya non konvensional. Bahkan seperti perupa Andarmanik
sempat membuat perdebatan di kalangan pengajar FSRD-ITB dengan membuat
karya tanah liat yang tak dibakar. Kemudian karya-karya keramik
konseptual pun bermunculan, katakanlah seperti kekaryaan almarhum
Hendrawan yang banyak menampilkan susunan bentuk tiga dimensional dari
bata merah. Mereka menuangkan gagasan lewat elemen-elemen pembuatan
keramik untuk tujuan yang berbeda. Namun keduanya menunjukan bahwa secara
konsepsi tanah liat atau benda-benda tembikar bisa dieksplorasi untuk
seni.
Oleh karena itu Nia sebagai seorang keramikus mulai melihat elemen tanah
liat secara lebih jauh ke dalam konsepsi berkarya. Serta untuk bisa
mengajak kita bermain dengan imajinasinya. Bukan memperlakukannya sebagai
produk budaya tradisi keramik. Tapi lebih jauh menjadikan tanah liat
sebagai materi alam yang berfungsi untuk memenuhi konsepsinya. Sekaligus
untuk menunjukan potensi material untuk kebutuhan simbolik hidup isi alam
ini. Seperti juga bagaimana tanah liat berguna untuk komuni rayap dan
semut, atau kita bisa saksikan dalam kehidupan berbagai kebudayaan di
dunia. ***(Rifky Effendi)
Selain ada pameran, akan diadakan pula workshop keramik, tanggal:7-8
Maret 2008, sebanyak dua sesi/perhari.
Mulai pk.10.00-12.00/14.00-16.00. Bisa langsung mendaftar di bentara
budaya jakarta.
Kami tunggu kehadiran Anda:
Salam,
Ika W Burhan
Bentara Budaya Jakarta
Jl.Palmerah Selatan 17
Jakarta 10270
(021)5483008, ext.7910-13
http://www.bentarabudaya.com
bbj@bentarabudaya.com
bisa juga di cek di:
http://www.ikaatje.wordpress.com
http://www.ikaatje.multiply.com
http://www.niagautama.multiply.com